— Pulau Dewata yang selama ini menjadi primadona pariwisata Indonesia kini menghadapi tantangan besar: kejenuhan akibat pariwisata yang tak terkendali. Keindahan alam dan kekayaan budaya Bali perlahan tergerus oleh dampak negatif dari arus wisatawan yang terus meningkat tanpa manajemen yang memadai.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat lebih dari 5,2 juta kunjungan wisatawan mancanegara sepanjang 2023. Angka tersebut menandai pulihnya sektor pariwisata pasca pandemi, namun juga menjadi alarm bagi daya dukung lingkungan dan sosial budaya Bali.
“Kami tidak menolak wisatawan, tapi yang datang harus menghargai tatanan budaya dan lingkungan kami,” ujar I Gusti Nyoman M., tokoh adat di wilayah Badung.
Fenomena over tourism terlihat nyata di kawasan seperti Canggu, Seminyak, dan Ubud. Kemacetan lalu lintas, sampah menumpuk, hingga berkurangnya ruang hijau menjadi wajah baru Bali yang mengkhawatirkan. Tak hanya itu, kenaikan harga tanah dan properti di kawasan wisata juga membuat warga lokal terpinggirkan dari tanah kelahirannya sendiri.
Budaya Jadi Komoditas, kekhawatiran lain datang dari masyarakat adat yang merasa budaya Bali perlahan dikomodifikasi. Upacara keagamaan dan ritual tradisional tak jarang berubah menjadi tontonan wisata tanpa pemahaman makna.
“Kami khawatir anak-anak muda Bali akan lupa jati diri mereka jika budaya hanya dijadikan atraksi,” kata Ida Ayu Laksmi, pegiat komunitas budaya di Gianyar.
Pariwisata yang awalnya menjanjikan kesejahteraan, kini berpotensi menimbulkan ketimpangan. Pelaku industri besar mendapat keuntungan, sementara banyak masyarakat lokal justru bergantung pada sektor informal dengan pendapatan tidak menentu.

Butuh Penataan Serius, pemerintah Provinsi Bali dan Kementerian Pariwisata dinilai perlu melakukan langkah strategis untuk menata ulang arah pengembangan pariwisata. Beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain Adalah Menerapkan kuota kunjungan di kawasan tertentu berdasarkan daya dukung lingkungan, Mengembangkan pariwisata berbasis komunitas, seperti desa wisata dan homestay ramah lingkungan, Meningkatkan edukasi budaya dan etika bagi wisatawan asing melalui media sosial, bandara, dan agen perjalanan, Meninjau ulang rencana tata ruang dan zona wisata agar tidak merusak ekosistem dan budaya lokal.
Kritik ini bukan untuk menghentikan pariwisata, melainkan untuk mendorong transformasi ke arah yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat lokal. Karena pada akhirnya, Bali bukan hanya destinasi global, tapi rumah bagi jutaan jiwa yang hidup, tumbuh, dan menjaga warisan leluhur.
Pulau Dewata yang selama ini menjadi primadona pariwisata Indonesia kini menghadapi tantangan besar: kejenuhan akibat pariwisata yang tak terkendali. Keindahan alam dan kekayaan budaya Bali perlahan tergerus oleh dampak negatif dari arus wisatawan yang terus meningkat tanpa manajemen yang memadai.