Oleh: Lia Alizia, S.H., Advokat/Praktisi Hukum Ketenagakerjaan
Mediabintang – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) baru saja membentuk Desk Ketenagakerjaan di bulan Januari 2025. Tugas utamanya adalah mewadahi sengketa industrial antara pengusaha dan tenaga kerja. Desk Ketenagakerjaan diharapkan dapat menyelesaikan sengketa industrial tersebut secara bertahap yaitu dimulai dengan laporan, gelar perkara, mediasi, jika perkara tersebut gagal dimediasi, penyelesaian perkara ketenagakerjaan akan berlanjut ke penegakan hukum sebagai ultimum remedium (langkah terakhir).
Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan) dikenal jabatan pegawai pengawas ketenagakerjaan yang merupakan pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan serta pembinaan dan pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diketahui beberapa pasal UU Ketenagakerjaan diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja tetapi pasal-pasal terkait dengan peran dan fungsi pegawai pengawas ketenagakerjaan tidak mengalami perubahan.
Pegawai pengawas ketenagakerjaan ditempatkan di instansi ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Pegawai pengawas ketenagakerjaan juga diberikan wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Sebagai PPNS, pegawai pengawas ketenagakerjaan memiliki beberapa wewenang antara lain:
- melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
- melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
- meminta keterangan dan bahan bukti dari orang/badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
- melakukan pemeriksaan/penyitaan bahan/barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Mengacu pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6 tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS, tugas dan kewenangan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan baik dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan diawasi oleh Polri dan oleh karenanya mereka harus berkoordinasi dengan penyidik dari Polri. Pengawas Ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan dari penyidik Polri.
Dengan demikian pegawai pengawas ketenagakerjaan memiliki dua fungsi yaitu:
- pengawasan dan pembinaan di bidang ketenagakerjaan yang bersifat administratif; dan
- pengawasan dan penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan yang bersifat pidana ketenagakerjaan.
Timbul dua pertanyaan utama: (1) apakah kehadiran Desk Ketenagakerjaan saat ini menunjukan kurang efektifnya kinerja dari pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagai PPNS yang diharapkan dapat melakukan penegakan hukum terhadap pidana ketenagakerjaan?; (2) apakah dengan adanya Desk Ketenagakerjaan, penegakan hukum menjadi lebih efektif sehingga lebih memberikan efek jera kepada pemberi kerja/pengusaha/perusahaan yang melanggar hak-hak normatif para pekerjanya?
Meninjau sedikit ke belakang, di masa lalu, Polri pernah juga membentuk Satuan Pengawas Orang Asing ditempatkan di tiap Polda. Tetapi kemudian kewenangan tersebut diambil alih oleh Direktorat Jenderal Imigrasi dengan terbitnya Undang-Undang Imigrasi No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Polri akhirnya hanya bertugas melakukan pemantauan orang asing yang berada di Indonesia dan apabila menemukan orang asing tidak memiliki dokumen identitas dirinya, Polri dapat melakukan pemeriksaan awal namun proses selanjutnya dan penyelesaiannya ditangani oleh Imigrasi, kecuali orang asing tersebut melakukan tindak pidana kejahatan, maka Polri berwenang melakukan penegakan hukum atas kejahatan tersebut. Pengambilalihan kewenangan oleh Direktorat Imigrasi memberikan lebih kejelasan dan kepastian hukum bagi orang asing maupun sponsor (perusahaan) dari orang asing yang bekerja di Indonesia dalam penegakan hukum imigrasi. Tidak ada lagi tumpang tindih kewenangan yang menimbulkan kebingungan di bidang pengawasan keberadaan orang asing di Indonesia.
Kembali membahas Desk Ketenagakerjaan, dibentuknya wadah ini seakan menjawab keraguan yang seringkali mencuat mengenai penegakan hukum terhadap pelanggaran pidana di bidang ketenagakerjaaan karena pegawai pengawas ketenagakerjaan seringkali hanya menerbitkan nota pemeriksaan I dan II yang bersifat pembinaan kepada pemberi kerja/perusahaan terhadap dugaan pelanggaran pidana untuk melakukan perbaikan atau pegawai pengawas ketenagakerjaan masih memberikan kesempatan kepada pemberi kerja/perusahaan untuk mematuhi kewajibannya sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Nota pemeriksaan ini pun masih dapat disanggah oleh pelanggar. Sangat jarang mungkin ditemui bahwa pegawai pengawas ketenagakerjaan akhirnya menindaklanjuti pelanggaran pidana tersebut ke tahap penyidikan sesuai dengan proses hukum acara pidana sehingga akhirnya tidak menimbulkan efek jera bagi pelanggar. Hal ini mungkin terjadi karena keterbatasan sumber daya sementara cakupan pengawasannya sangat luas sehingga peran dan fungsi mereka kurang efektif.
Tujuan mulia dari terbentuknya Desk Ketenagakerjaan ini jangan sampai menimbulkan kebingungan di kalangan pemberi kerja/perusahaan dan pekerja terkait proses pengaduan dan penyelesaian sengketa ketenagakerjaan (dugaan pidana ketenagakerjaan) sehingga tidak tercapainya kepastian hukum dan keadilan bagi pekerja dan pemberi kerja/perusahaan khususnya para investor (asing) yang melakukan kegiatan bisnis di Indonesia karena birokrasi pemerintah yang rumit.
Polri perlu selanjutnya menerbitkan suatu ketentuan yang mengatur: (i) tugas dan wewenang yang jelas dari Desk Ketenagakerjaan; (ii) mekanisme dan jangka waktu penyelesaian pengaduan/laporan; (iii) jenis pidana ketenagakerjaan yang ditangani. Definisi dari pelapor penting diberikan suatu penjelasan yang tepat dalam ketentuan nanti apakah pelapor ini bisa dari kalangan pekerja saja atau bisa juga pemberi kerja mengingat adanya ketentuan PHK karena pelanggaran bersifat mendesak yang umumnya merupakan tindakan pelanggaran yang dilakukan pekerja yang mengandung unsur tindak pidana kejahatan/pelanggaran pidana. Persiapan dari sumber daya yang ada untuk melaksanakan peran dan fungsi dari Desk Ketenagakerjaan juga harus menjadi bahan pertimbangan.
Di samping itu ketentuan baru nanti tidak bertentangan dengan hal-hal yang sudah diatur mengenai tugas dan wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan. Kemudian sejauh mana Desk Ketenagakerjaan dan pegawai pengawas ketenagakerjaan saling membantu dan berkoordinasi sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih peran dan kewenangan.
Penting juga diperhatikan ketentuan yang akan terbit nanti tidak bertentangan dengan ketentuan yang berada di atasnya sesuai dengan hirarki ketentuan perundangan di Indonesia, misalnya bagaimana mekanisme mediasi yang berlaku di Desk Ketenagakerjaan dan apakah hal ini sama dengan mediasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2004 mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial? Apabila berbeda, apakah maksud dari mediasi dalam Desk Ketenagakerjaan adalah restorative justice?
Seyogyanya mekanisme penyelesaian sengketa industrial pada Desk Ketenagakerjaan berpedoman pada hukum acara pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika ketentuan mengenai Desk Ketenagakerjaan ini bertentangan dengan ketentuan di atasnya, maka ketentuan yang dikeluarkan tersebut adalah batal demi hukum dan oleh karenanya Desk Ketenagakerjaan ini tidak dapat menjalankan perannya secara efektif.
Masyarakat saat ini menunggu terobosan baru yang akan dilakukan oleh Desk Ketenagakerjaan demi penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.